Kamis, 13 Mei 2010

Peran Sunan Gunung Djati dalam Dakwah dan Sosial Budaya

Oleh DADAN WILDAN

DALAM kosmologi Jawa, seperti halnya banyak kosmologi Asia Tenggara lainnya, menurut van Bruinessen (1999:42), pusat-pusat kosmis, titik temu antara dunia fana dengan alam supranatural, memainkan peranan sentral. Kuburan para leluhur, gunung, gua, dan hutan tertentu serta tempat “angker” lainnya tidak hanya diziarahi sebagai “ibadah” saja tetapi juga dikunjungi untuk mencari ilmu (ngelmu) alias mencari kesaktian dan legitimasi politik. Setelah orang Jawa mulai masuk Islam, Makkah lah yang, tentu saja, dianggap sebagai pusat kosmis utama—selain untuk berziarah, ibadah haji, juga menuntut ilmu agama Islam, meskipun penuh dengan berbagai resiko. Sebetulnya, pada masa itu ada berbagai pusat keilmuan lain yang tidak kalah dibandingkan dengan Mekkah dan Madinah, tetapi orang Asia Tenggara mencarinya di tanah suci ini.

Masa Sunan Gunung Djati Berguru Agama Islam

SUNAN Gunung Djati (SGD) historis mungkin memang pernah, atau mungkin juga tidak, mengunjungi Mekkah dan Madinah. Namun laporan tentang usahanya menuntut ilmu di sana, terlepas dari kebenaran historisnya, memberikan beberapa isnformasi berharga tentang Islam Indonesia abad ke-17 (Bruinessen, 1999:223). Dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN) dan Babad Cirebon edisi Brandes (BC-Br) diceritakan bahwa SGD belajar kepada Najmuddin al-Kubra, dan kemudian selama dua tahun belajar kepada ‘Athaillah al-Iskandari al-Syadzili di Madinah—yang menurut Bruinessen (1999:224) dia menerima pembai’atan menjadi penganut tarekat Syadziliyyah, Syattariyah, dan Naqsyabandiyah.

CPCN halaman 31 baris ke lima sampai dengan halaman 32 baris ke empat menjelaskan.

…/ i telasira Sarif Hidayat yuswa

taruna akara ruwang dasa warsa ya dharmestha

muwang hayun dumadi acariyeng agama Rasu-

l / mathang ika lunga ta ya ring Mekah//

engke sira maguru ring Seh Tajmuddin a-

l-Kubri lawasiara ruwang warsa / irika ta

ya ring Seh Ataulahi Sajili ngaranira

kang panutan Imam Sapi’I ika / ri huwus la-

wasira ruwang warsa // I telas ika

Sarip Hidayat lunga umareng kitha Bagda-

Dengke sira maguru tasawup Rasul /

Lawan tamolah ing pondhok (w) wang pasanak rama-

Nira / sampun ika kretawidya tumuli

mulih (a) ring nagarinira // (Atja, 1986:128)

Terjemahan (Atja, 1986:165)

…/Setelah sarip Hidayat berusia

remaja, kira-kira dua puluh tahun, ia seorang yang

saleh dan berhasrat menajdi guru agama Is-

lam. Oleh akrena itu ia pergi ke Mekkah. Di

sini ia berguru kepada Seh Tajmuddin al-

Kubri, lamanya dua tahun. Setelah itu ia (berguru)

Kepada Seh Ataulahi Sajili namanya,

yang penganut Imam Sapi’i, lamanya

Dua tahun, sehabis itu

Sarip Hidayat pergi menunju kota baghdad.

Di sini ia berguru tasawuf Rasul

Dan tinggal di pondok paman ayah-

Nya. Setelah pelajarannya selesai, kemudian

Ia kembali ke negerinya…

BC-Br pupuh ke tigabelasa Kinanti, bait pertama dan kedua (Brandes, 1911:66) juga menginformasikan hal yang sama.

Siad Kamil loentaipoen

Njanteri ing Sjech Agoeng Wacil

Ana ing negara Mekah

Ingkang nama Sjech Tajmoe’ddin

Al-Koebri Molana Akbar

Sampoen toetoeg anglebeti

Be’at dzikir lawan soeghoel

Moesafahah lawan talqin

Woes ing sampoerna abe’at

Noeli ika njanteri maning

Maring Sjech agoeng nama

‘Ata’oellahi Sadzili

Terjemahan:

Said Kamil berangkatlah

Belajar di Syekh Agung

Yang ada di negara Mekah

Yang bernama Syekh Tajmuddin

Al-Kubri Molana Akbar

Telah masuk

Baiat, zikir, sughul,

musafahah, talqin

telah sempurna baiat

lalu berguru lagi

kepada Syekh Agung yang bernama

Atau’llahi Sazili

Jarak ruang dan wktu yang memisahkan SGD dengan orang-orang yang dikatakan gurunya, Ibn ‘Athaillah Sadzili dan Najmuddin al-Kubra menimbulkan kronologis yang a-historis dari sumber di atas. Sebab hasil penelitian Bruinessen (1999:224) menyebutkan bahwa Ibn ‘Atha’illah adalah orang terkemuka di Mesir pada abad ke-13 dan bukan di Madinah pada abad ke-16. Demikian juga Najmuddin al-Kubra, bahkan lebih jauh lagi; Kubra menyebarkan ajarannya di Khawarizm (Asia Tengah dan wafat di sana pada tahun 1221. Munculnya kedua nama ini dimungkinkan karena tarekat Syatariyah dan Naqsabandiyah telah tersebar ke Nusantara selama abad ke-17 melalui Madinah, dan sangat mungkin bahwa tarekat Syadziliyah pun menyebar pada masa yang sama. Nama-nama tersebut muncul menunjukkan adanya pengetahuan yang cukup memadai tentang Kubrawiyah, tarekat yang dihubungkan dengan nama Najmuddin al-Kubra.

Hipotesis paling sederhana yang diajukan Bruinessen (1999:225) menerangkan rujukan-rujukan kepada tarekat Syatariyah, Naqsabandiyah, dan Kubrawiyah yang muncul dalam naskah-naskah tradisi Cirebon sejauh ini adalah bahwa lingkungan istana, yang darinya teks-teks tersebut berasal, pada abad ke-17 sudah berkenalan dengan berbagai tarekat melalui seorang atau lebih murid al-Syinawi atau penggantinya—mungkin orang Indonesia asli yang menunaikan ibadah haji atau orang luar yang datang ke Indonesia.

Dalam tradisi babad di Jawa Barat (Cirebon dan Banten), Syekh Jumadil Kubra digambarkan sebagai nenek moyang SGD. Kronika Banten dan Cirebon memberikan, dalam bentuk yang sedikit berbeda, silsilah yang telah disingkatkan sebagai berikut:

Nabi Muhammad saw.

Ali dan fatimah

Imam Husain

Imam Zainal Abidin

Imam Ja’far Shadiq

Syekh Zainal Kubra (atau Zainal Kabir)

Syekh Jumadil Kubra

Syekh Jumadil Kabir

Sultan Bani Israil

Sultan Hut dan Ratu Fatimah

Muhammad Nuruddin (Sunan Gunung Djati)

Silsilah ini terdiri dari sejumlah bagian yang terpisah. Bagian pertama menyebut keturunan langsung dari Nabi Muhammad sampai Imam Syi’ah yang keenam, Ja’far Shadiq (yang ayahnya, Imam kelima, Muhammad al-Baqir, tidak disebut dalam satu versi pun) dimulai dengan nama-nama ini, demikian pula silsilah semua sayyid dari Hadramaut; yang mencolok Ja’far juga merupakan Imam terakhir yang disebut dalam silsilah tertentu.

Bagian terakhir dari silisalh tersebut menyebut dua orang raja yang menguasai negara muslimmitologis (kadang-kdang dinamakan Mesir); nama mereka nampaknya menunjukkan hubungan eksplisit dengan kenabian pra-Muhammad. Hud adalah nama nabi ‘Arab” pertama yang disebutkan dalam al-Qur’an, tetapi nama ini juga terdapat dalam al-Qur’an sebagai kata benda yang mempunyai arti majemuk yang dipakai untuk menyebut orang Yahudi; Bani Israil, “keturunan Israi’”, serupa dengan istilah yang dipakai untuk menyebit orang-orang Yahudi, yang kadang-kadang mencakup juga kaum monoteis lainnya. Karena itu kedua nama tersebut juga berarti “penguasa umat Yahudi”. Bagi Bruinessen (1999:237) nama Jumadil Kubra barangkali hanyalah pengkoreksian terhadap nama Jumadil Kubra, sebagaimana juga nama Jumadil Akbar dan Jumadil Makbur. Nama Jumadil Kubra merupakan satu-satunya yang dapat dikemukakan dalam berbagai kepustakaan Jawa.

Kebenaran historis tentang nama-nama guru yang didatangi SGD sebagaimana tercantum dalam naskah-naaskah tradisi Cirebon nampaknya sulit untuk dibuktikan, di samping tidak ada kesaksian lain—kecuali CPCN dan naskah-naskah tradisi Cirebon—juga masa hidup SGD dengan para gurunga terpaut jauh ke belakang. Namun, terlepas dari nama-nama gurunya, naskah-naskah tradisi Cirebon memberikan informasi lainnya, yakni setelah Syarif Hidayat berusia 20 tahun, dia berniat dengan sungguh-sungguh untuk menjadi guru agama Islam. Karena itu, dia lalu berangkat ke Mekkah, lalu pergi ke Bagdad untuk belajar tasawuf dan tinggal di pondok bersama kerabat ayahnya. Setelah tamat ia kembali ke negerinya, lalu pergi ke tanah Jawa melalui Gujarat dan Samudera Pasai untuk menyebarkan agama Islam di negeri leluhur ibunya, Cirebon.

Peran Dakwah Sunan Gunung Djati

PUSAT-PUSAT perdagangan di pesisir utara, yakni Gresik, Demak, Cirebon, dan Banten sejak akhir abad ke-15 dan permulaan abad ke-16 telah menunjukkan kegiatan keagamaan oleh para wali di Jawa. Kegiatan ini mulai nampak sebagai kekuatan politik di pertengahan abad ke-16 ketika kerajaan Demak sebagai penguasa Islam pertama di Jawa berhasil menyerang ibu kota Majapahit (Garff, 1976:3). Sejak itu perkembangan Islam di Jawa telah dapat berperan secara politik, di mana para wali dengan bantuan kerajaan Demak, kemudian Pajang dan Mataram dapat meluaskan pengembangan Islam tidak saja ke seluruh daerah-daerah penting di Jawa, tetapi juga di luar Jawa (Ambary, 1999:58).

Dalam naskah-naskah tradisi Cirebon, diceritakan bahwa di Gunung Djati, kurang lebih lima kilometer sebelah utara kota Cirebon Sekarang, telah tumbuh pesantren yang cukup ramai, yang dipimpin oleh Syekh Datuk Kahfi, letak pesantren itu tidak jauh dari Pasambangan. Ketika Tome Pires mengunjungi Cirebon pada tahun 1513, ia mengatakan bahwa Cirebon merupakan sebuah pelabuhan yang berpenduduk sekitar 1000 keluarga dan pengauasanya telah beragama Islam. Pires selanjutnya menyatakan, Islam telah hadir di Cirebon sekitar tahun 1470-1475 (Lihat Cortesao, 1944:184-185).

Dalam tardisi Cirebon disebutkan bahwa Walangsungsang atau Cakrabumi—kemudian bergelar Cakrabuwana—melakukan perjalanan ibadah haji ke Mekkah bersama adiknya, Rarasantang. Disebutkan bahwa Rarasantang dinikahi Sultan Mesir dan berputra Syarif Hidayatullah dan Syarif Arifin. Selanjutnya Syarif Hidayatullah menerima pemerintahan Cirebon dari Pamannya, Cakrabuwana pada sekitar tahun 1479 serta membuat pusat pemerintahan di Lemah wungkuk, ia kemudian tinggal di istana Pakungwati. Pakungwati inilah kelak menjadi tempat tinggal tetap para sultan Cirebon.

Dalam usia 20 tahun Syarif Hidayatullah telah mempunyai kualifikasi sebagai guru agama Islam karena ia telah berguru agama Islam di Mekkah dan Madinah. Dalam perjalanannya ke Cirebon ia singgah di Pasai dan tinggal bersama Maulana Iskak (Sulendraningrat, 1972:7; Siddique, 1977:64-65). Ketika tiba di pelabuhan Muara Djati (Cirebon) kemudian terus ke desa Sembung-Pasambangan, dekat Giri Amparan Djati, pada tahun 1475—ada pula naskah yang menyebut tahun 1470. Di sana ia mengajar agama Islam menggantikan Syekh Datuk Kahfi yang telah meninggal dunia. Perlahan-lahan ia menyesuaikan diri dengan masyarakat setempat yang menganggapnya sebagai orang asing dari Arab. Ia kemudian digelari Syekh Maulana Djati atau Syekh Djati. Syekh Djati mengajar juga di dukuh Babadan. Kemudian ia pergi ke Banten untuk mengajar agama Islam di sana. Sepulangnya dari Banten ia dinobatkan oleh uaknya menjadi kepala nagari dan digelari Susuhunan Djati atau Sunan Djati atau Sunan Caruban. Sejak itulah Caruban Larang dari sebuah negeri mulai dikembangkan menjadi sebuh kesultanan dengan nama Kesultanan Cirebon.

Di Cirebon, aktivitas SGD yang tampil sebagai kepala negara sekaligus sebagai salah seorang Walisanga lebih memprioritaskan pada pengembangan agama Islam melalui dakwah, salah satunya adalah menyediakan sarana ibadat keagamaan dengan mempelopori pembangunan mesjid agung dan mesjid-mesjid jami diwilayah bawahan Cirebon. Metode dan cara dakwah SGD dapat dibaca dalam naskah-naskah tradisi Cirebon baik metode dakwah konvensional melalui ceramah keagamaan maupun metode dakwah yang—tidak dijamin kebenarannya dan aneh-aneh—diliputi oleh unsur-unsur legendaris dan a-historis.

Pada tahun 1480 dibangun Mesjid Agung yang dinamai Sang Cipta Rasa yang terletak di samping kiri keraton dan sebelah Barat alun-alun. Pembangunan mesjid ini dibantu oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Adapun pekerjaan fisiknya dilaksanakan oleh mantan arsitek Majapahit, Raden Sepat. Dalam naskah-naskah tradisi Cirebon disebutkan bahwa pembangunan mesjid agung ini melibatkan seluruh para wali tanah Jawa dan selesai dalam waktu satu malam. Mesjid Sang Cipta Rasa menurut Zen (1999:170) bukanlah berada di samping keraton dan sebelah barat alun-alun, tetapi berada di sekitar kompleks pemakaman Sunan Gunung Djati di Desa Astana Gunung Djati, kecamatan Cirebon Utara, Kabupaten Cirebon. Nama mesjid ini nyaris tidak dikenal, sebab orang lebih mengenalnya sebagai Mesjid Sunan Gunung Djati

Untuk menjalankan roda pemerintahan dan aktivitas masyarakat dibangun sarana dan prasarana umum, seperti keraton, sarana transportasi melalui jalur laut, sungai, dan jalan darat, pembentukan pasukan keamanan (pasukan jaga baya) yang jumlah dan kualitasnya memadai baik untuk di pusat kerajaan maupun di wilayah-wilayah yang sudah dikuasainya.

Pada tahun 1438 SGD memperluas dan melengkapi keraton Dalem Agung Pakungwati, bekas kediaman Cakrabuwana, dengan membangun bangunan-bangunan pelengkap serta tembol keliling setinggi 2,5 meter dan tebalnya 80 cm. Pada areal tanah seluas kurang lebih 20 hektar. Beberapa waktu kemudian dibangun pula tembok keliling ibu kota dengan tinggi dua meter, meliputi areal seluas kurang lebih 50 hektar dengan beberapa pintu gerbang, salah satunya disebut Lawang Gada.

Pada waktu pembangunan tembok keliling ibu kota, dibangun pula jalan besar dari alun-alun keraton Pakungwati ke pelabuhan Muarajati dengan maksud agar para pedagang asing atau utusan-utusan dari kerajaan lain yang masuk ke pelabuhan Muarajati dapat dengan mudah menemui Susuhunan apabila mereka mau menghadap atau membicarakan sesuatu, di samping untuk keamanan dan arus barang dari pelabuhan.

Tranportasi jalur laut pun diupayakan untuk ditata sebaik mungkin. Di sebelah tenggara keraton, di tepi sungai Kriyan, dibangun pangkalan perahu kerajaan lengkap dengan gapura yang disebut lawang Sanga dan bengkel pembuatan perahu besar serta istal kuda kerajaan dan pos-pos penjagaan. Sementara di pelabuhan Muarajati, bangunan-bangunan untuk fasilitas pelayaran seperti mercusuar yang dahulu dibuat oleh Ki Ageng Tapa dengan dibantu oleh orang-orang Cina, disempurnakan. Di pelabuhan ini dibangun pula bengkel untuk memperbaiki perahu berukuran besar yang mengalami kerusakan dengan memanfaatkan orang-orang Cina ahli pembuat Jung yang dahulu dibawa oleh armada Laksamana Cheng Ho. Bahkan di dekat Muarajati sudah banyak orang asing bertempat tinggal, baik dari Arab maupun Cina dan pasar rempah-rempah, beras, hewan potong, dan tekstil.

Untuk mendanai berbagai pembangunan sarana dan prasarana, SGD memberlakukan pajak yang jumlah, jenis, dan besarnya disederhanakan sehingga tidak memberatkan rakyat yang baru terlepas dari kekuasaan Kerajaan Pakuan Pajajaran (lihat Soenarjo, 1996:31-32).

Dalam tahun-tahun peratama memulai tugas dakwahnya di Cirebon, SGD berperan sebagai guru agama menggantikan kedudukan Syekh Datuk Kahfi dengan mengambil tempat di gunung Sembung. Pasambangan yang agak jauh dari istana atau pusat negeri Cirebon. Setelah beberapa lama bergaul dengan masyarakat ia mendapat sebutan atau gelar Syekh Maulana Djati yang sehari-harinya disebut Syekh Djati. Selain di dukuh Sembung-Pasambangan, ia mengajar pula di dukuh Babadan, sekitar tiga kilometer dari dukuh sembung. Setelah beberapa lama tinggal di dukuh Sembung, ia memperluas medan dakwahnya hingga ke Banten.

Beberapa waktu lamanya SGD tinggal di Banten mengajarkan dan mengembangkan syi’ar Islam. Sepulangnya dari Banten pada 1479, Syarif Hidayatullah dinobatkan menjadi Tumenggung oleh Pangeran Cakrabuwana dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah yang disambut oleh para wali tanah Jawa dengan memberikan gelar Panetep Panatagama Rasul di Tanah Sunda (lihat Sunardjo, 1983:55-57) ataung Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Djati Purba Panetep Panatagama Awliya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah (Selendraningrat, 1968:16). Panetep berarti yang menetapkan, panata artinya yang menata, gama singkatan dari agama, dan rasul yang berarti utusan (untuk menyebarkan agama) yang bertempat di tanah Sunda. Sulendraningrat (1972:20) menyebutkan Panetep Panatagama rasul Soerat Sunda yang berkuasa di seluruh jazirah Sunda yang bersemayam di negeri Caruban untuk menggantikan Syekh Nurul Djati yang telah wafat.

Apabila diperhatikan dari permulaan timbulnya nagari Caruban sekitar tahun 1445 yang diawali oleh sebuah pemukiman kecil yang disebut Kebon Pesisir yang dipimpin oleh Ki Danusela kemudian berkembang menjadi Desa Caruban Larang yang dipimpin oleh Pangeran Cakrabuwana yang akhirnya menjadi negeri Cirebon yang dipimpin oleh seorang tumenggung bergelar Susuhunan pada sekitar pada tahun 1479, perkembangan ini hanya berlangsung kurang lebih 34 tahun jaraknya sejak dipimpin oleh kuwu hingga tumenggung/susuhunan.

Melalui penobatan SGD sebagai panetep panatagama di tanah Sunda mengandung arti bahwa martabatnya telah sama dengan para wali lainnya. Melalui penobatan ini secara tidak langsung merupakan pengumuman dari Walisanga kepada para ulama dan muballigh sepulau Jawa, khususnya yang berada di Jawa Barat, untuk mengikuti segala petunjuk Syarif Hidayat dalam melaksanakan syi’ar Islam. Dengan demikian, di tanah Jawa terdapat dua kerajaan Islam, yaitu Pertama, adalah Kerajaan Demak yang telah terlebih dahulu berdiri, bersamaan dengan keruntuhan Majapahit sekitar tahun 1478. Raden Fatah adalah Sultan Demak yang pertama kali diberi gelar oleh para wali dengan gelar Sultan Alam Akbar al-Fatah Amiril Mukminin.. Kedua adalah kerajaan Cirebon yang dipimpin oleh Susuhunan Djati sebagai panetep panatagama Rasul, yang keduanya adalah pemimpin agama Islam sekaligus sebagai raja (Sunardjo, 1983:62). Salana (1995:1) menyebutkan bahwa pada tanggal 12 Sukla Cetramasa 1404 Saka atau 12 Puasa 1404 Saka (1482 Masehi), Maulana Djati sebagai Tumenggung Cirebon menyatakan berdirinya Kesultanan Cirebon. Dalam pernyataannya, menurut Salana (1987:179) disebutkan bahwa Cirebon berdiri menjadi sebuah kerajaan yang merdeka dari kekuasaan kerajaan Pajajaran, dan akan menjadi kesatuan dari tanah Sunda dalam satu nama kesultanan Pakungwati di Cirebon. Pengiriman pajak terasi kepada kerajaan Pakuan Pajajaran yang biasanya diserahkan setiap tahun mlalui Adipati Palimanan, dihentikan. Sejak itu SGD mulai memperluas daerah kekuasaannya.

Sunan Gunung Djati adalah seorang propagandis Islam di Jawa Barat (the propagator of Islam in West Java) (Stevens, 1978:80), dalam aktiviatsnya ia melakukan perjalanan dakwah kepada penduduk Pulau Jawa bagian Barat untuk menganut agama Islam. Dimulai dari Cirebon dan sekitarnya, ia melaksanakan tugasnya sebagai panatagama. Namun dengan mengabaikan hal-hal tersebut, tugas SGD ini dilaksanakan dengan dasar-dasar dogmatis dan rasional yang menopang kegiatannya, antara lain keteguhan iman dan sikap takwa yang murni dan ikhlas dalam berjuang untuk menyebarkan agama Allah sehingga mengangkat derajat dirinya dan layak menyandang sebutan wali atau kekasih Allah. Al-Qur’an surat Yunus (10) ayat 62-63 dan surat al-Ankabut (29) ayat 69 menegaskan:

(62) Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak pula mereka bersedihhati.

(63) (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.

Surat al-Ankabut (29) ayat 69: Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.

Di luar alasan dogmatis, ada pula beberapa alasan rasional yang membawa keuntungan bagi posisi dan kedudukan para wali dalam bentangan kultural sehingga menjadi faktor penting bagi reputasi mereka. Umumnya para wali itu—termasuk SGD—adalah keturunan orang-orang terpandang dan bangsawan, serta mempunyai peluang ekonomi yang baik. Dengan keturunan yang baik, kedudukan yang tinggi sebagai tumenggung, dan topangan ekonomi yang kuat, serta kesalehan yang dimiliki, SGD melakukan tugas dakwah menyebarkan agama Islam ke berbagai lapisan masyarakat. Dukungan-dukungan ini memungkinkannya untuk melakukan mobilitas ke berbagai tempat dan memudahkan pula menarik warganya untuk menganut ajaran agama yang dibawanya. Dukungan personal di atas didukung pula oleh aspek dukungan organisasi kelompok dalam forum Walisanga yang secara efektif dijadikan sebagai organisasi dan alat kepentingan dakwah sebagai siasat yang tepat untuk mempercepat tersebarnya ajaran Islam. Menurut Wiji Saksono (1995:104) mengutip al-Syaikh ‘Ali Mahfudz menyatakan bahwa menurut tuntunan Rasul, dakwah harus dibina di atas empat dasar pokok, yaitu al-huluj balaghah (alasan yang jitu), al-asalibul hakimah (susunan kata yang bijaksana dan penuh hikmah), al-adabus samiyah (sopan santun yang mulia), dan as-siyasatul hakimah (siasat yang bijak). Keempat prinsip dakwah ini pada dasarnya telah diterapkan oleh wali sanga, termasuk SGD.

Di samping, SGD diyakini mempunyai ilmu agama mulai dari ilmu fiqh, syari’ah, bahkan tasawuf–di mana SGD dipandang sebagai pengikut Tareket Kubrawiyah dari Syekh Jumadil Kubra atau tarekat Syatariyah-, dan mistik, di samping masalah-masalah kehidupan kemasyarakatan seperti kesehatan, keluarga dan rumah tangga, ekeonomi, politik dan kenegaraan, serta pendidikan, dan kebudayaan. Berkenaan dengan masalah kesehatan, SGD mempunyai peran dakwah yang khas dalam masalah ini. Pengobatan lahir harus iatasi dengan obat-obatan maddiyah (lahiriah) seperti daun-daun dan akar-akaran, serta kesehatan dan pengobatan batin yang semula diatasi dengan pengobatan spiritual, kejiwaan, firasat, jampi-jampi, dan mantra-mantra, oleh SGD diganti dengan do’a-doa (Islam) (lihat Wiji Saksosono, 1995:111). Kecendrungan SGD diyakini mempunyai metode dakwah melalui media pengobatan karena naskah-naskah lama dalam tradisi Cirebon seluruhnya memberikan informasi tentang seringnya SGD bertindak sebagai tabib (ahli pengobatan). Perlu dieliminir bahwa sebagai panatagama, dakwah SGD dalam kisah-kisah tradisi mengenai pengislaman masyarakat Sunda diwarnai oleh hal-hal yang aneh, legendaris, dan a-historis. Dalam naskah-naskah tradisi Cirebon lebih menekankan pada dukungan kesaktian, azimat-azimat yang dimiliki, dan karamat wali.

Salah satu bukti keberhasilan dakwah SGD yang masih diajarkan oleh keturunannya melalui Sultan Kasepuhan dan kerabat keraton Cirebon adalah pengamalan petatah-petitih SGD, yakni ungkapan atau ucapan yang mengandung ajaran hidup berupa nasihat, pesan, anjuran, kritik, dan teguran yang disampaikan (atau diajarkan) dalam keluarga, kerabat, dan putra-putri SGD. Petatah-petitih SGD ini secara umum mengandung makna yang luas dan kompleks. Efendi (1994:14-34) mengungkapkan unsur-unsur dari petatah-petitih SGD, yakni petatah-petitih dalam nilai ketaqwaan dan keyakinan, kedisiplinan, kearifan dan kebijakan, kesopanan dan tatakrama, dan kehidupan sosial.

Petatah-Petitih yang berkaitan dengan ketaqwaan dan keyakinan adalah:

  • Ingsun titipna tajug lan fakir miskin (aku—SGD—titip tajug dan fakir miskin.
  • Yen sembahyang kungsi pucuke pnah (jika salat harus khusu dan tawadhu seperti anak panah yang menancap kuat).
  • Yen puasa den kungsi tetaling gundewa (jika puasa harus kuat seperti tali gondewa).
  • Ibadah kang tetap (ibadah itu harus terus menerus)
  • Manah den syukur ing Allah (hati harus bersyuklur kepada Allah)
  • Kudu ngahekaken pertobat (banyak-banyaklah bertobat).

Petatah-Petitih yang berkaitan dengan kedisiplinan

  • Aja nyindra janji mubarang (jangan mengingkari janji)
  • Pemboraban kang ora patut anulungi (yang salah tidak usah ditolong)
  • Aja ngaji kejayaan kang ala rautah (jangan belajar untuk kepentingan yang tidak benara atau disalahgunakan)

Petatah-Petitih yang berkaitan dengan kearifan dan kebijakan adalah:

  • Singkirna sifat kanden wanci (jauhi sifat yang tidak baik)
  • Duwehna sifat kang wanti (miliki sifat yang baik)
  • Amapesa ing bina batan (jangan serakah atau berangasan dalam hidup).
  • Angadahna ing perpadu (jauhi pertengkaran).
  • Aja ilok ngamad kang durung yakin (jangan suka mencela sesuatu yang belum terbukti kebenarannya).
  • Aja ilok gawe bobat (jangan suka berbohong).
  • Kenana ing hajate wong (kabulkan keinginan orang).
  • Aja dahar yen durung ngeli (jangan makan sebelum lapar)
  • Aja nginum yen durung ngelok (jangan minum sebelum haus).
  • Aja turu yen durung katekan arif (jangan tidur sebelum ngantuk).
  • Yen kaya den luhur (jika kaya harus dermawan).
  • Aja ilok ngijek rarohi ing wong (jangan suka menghina orang).
  • Den bisa megeng ing nafsu (harus dapat menahan hawa nafsu).
  • Angasana diri (harus mawas diri)
  • Tepo saliro den adol (tampilkan perilaku yang baik).
  • Ngoletena rejeki sing halal (carilah rejeki yang halal)
  • Aja akeh kang den pamrih (jangan banyak mengharap pamrih).
  • Den suka wenan lan suka memberih gelis lipur (jika bersedih jangan diperlihatkan agar cepat hilang).
  • Gegunem sifat kang pinuji (miliki sifat terpuji)
  • Aja ilok gawe lara ati ing wong (jangan suka menyakiti hati orang).
  • Ake lara ati, namung saking duriat (jika sering disakiti orang hadapilah dengan kecintaan tidak dengan aniaya).
  • Aja ngagungaken ing salira (jangan mengagungkan diri sendiri).
  • Aja ujub ria suma takabur (jangan sombong dan takabur).
  • Aja duwe ati ngunek (jangan dendam).

Petatah-Petitih yang berkaitan dengan kesopanan dan tatakrama:

  • Den hormat ing wong tua (harus hormat kepada orang tua).
  • Den hormat ing leluhur (harus hormat pada leluhur).
  • Hormaten, emanen, mulyaken ing pusaka (hormat, sayangi, dan mulyakan pusaka).
  • Den welas asih ing sapapada (hendaklah menyanyangi sesama manusia).
  • Mulyakeun ing tetamu (hormati tamu).

Petatah-Petitih yang berkaitan dengan kehidupan sosial;

  • Aja anglakoni lunga haji ing Makkah (jangan berangkat haji ke Mekkah, jika belum mampu secara ekonomis dan kesehatan).
  • Aja munggah gunung gede utawa manjing ing kawah (jangan mendaki gunung tinggi atau menyelam ke dalam kawah, jika tidak mempunyai persiapan atau keterampilan).
  • Aja ngimami atau khotbah ing masjid agung (jangan menjadi imam dan berkhotbah di Mesjid Agung, jika belum dewasa dan mempunyai ilmu keIslaman yang cukup).
  • Aja dagangan atawa warungan (jangan berdagang, jika hanya dijadikan tempat bergerombol orang)
  • Aja kunga layaran ing lautan (jangan berlayar ke lautan, jika tidak mempunyai persiapan yang matang).

Petetah petitih SGD di atas secara umum mengandung makna yang luas dan kompleks, sehingga dapat berguna, tidak saja untuk anak dan keturunannya, melainkan juga bagi masyarakat luas. Pada dasarnya ada enam makna yang terkandung dalam petatah-petitih SGD, yaitu:

Nasihat tentang perbuatan yang baik dan bijak yang pada akhirnya keturunan sultan dan masyarakat luas diharapkan menjadi manusia yang arif dan bijaksana dalam berhubungan dengan sesamanya serta sabar dan tawakal beribadat kepada Allah Swt.

Pesan yang secara implisit memberikan arah dan petunjuk bagi banyak orang agar tetap konsisten dalam menjalankan ajaran Islam. Sedangkan secara eksplisit menegaskan ketentuan-ketentuan yang harus dilaksanakan oleh anak dan keturunannya.

Baik secara halus maupun terus terang mengemukakan pendiriannya yang bertentangan dengan hati nurani, rakyat, anak, dan keturunanya. Hal ini mengandung makna teguran yang halus dan keras semata-mata ditujukan agar norma kehidupan tidak dilanggar.

Mengandung anjuran untuk mentaati aturan yang telah disepakati agar terus dijaga keabadiannya sampai generasi mendatang.

Agar para pengikutnya mengikuti petatah-petitih untuk tegaknya nilai-nilai Islam.

Mengandung sangsi berupa hukuman sosial dan moral bagi siapa saja yang melanggar petatah-petitihnya (lihat Effendi, 1994:8-9).

Peran Sosial-Budaya

SIMBOL-SIMBOL sosial—dan juga budaya—yang tampak pada masa pemerintahan SGD dapat dilihat dari berbagai aspek yang sebagian masih kentara pad amasa kini. Siddique (1977:79-82) memberikan gambaran mengenai simbol-simbol tersebut antara lain simbol kosmis dan simbol-simbol yang berasal dari ajaran Islam. Simbol kosmis (casmic symbol) diwujudkan dalam bentuk payung sutra berwarna kuning dengan kepada naga. Payung ini melambangkan sebagai semangat perlindungan dari raja kepada rakyatnya. Sementara simbol-simbol yang berasal dari ajaran Islam dibagi ke dalam empat tingkatan, syari’at, tarekat, hakekat, dan ma’rifat. Tahap pertama adalah syari’at yang disimbolkan dengan wayang. Wayang adalah perwujudan dari manusia, dan dalang adalah Allah. Tahap kedua adalah terekat yang disimbolkan dengan barong. Tahap ketiga adalah hakekat yang disimbolkan dengan topeng. Tahap keempat adalah ma’rifat yang disimbolkan dengan ronggeng. Wayang, barong, topeng, dan ronggeng adalah empat jenis dari pertunjukan kesenian masyarakat Jawa (Cirebon).

Simbol-simbol di atas seringkali muncul dalam berbagai acara selamatan-selamatan (sedekahan) yang menjadi tradisi di bulan-bulan tertentu dan perayaan-perayaan keIslaman yang berasal dari tradisi Walisongo—termasuk SGD. Mungkin sekali bahwa selamatan-selamatan (sedekahan) itu pada mulanya berasal dari shadaqah sunnah yang dianjurkan oleh para wali. Tujuannya, tidak lain untuk menyemarakkan syi’ar Islam sekaligus memperingati hari besar peristiwa-peristiwa penting dalam Islam.

Menurut Wiji Saksono (1995:151), shadaqah ini pada masa sekarang, karena telah jauh dari masa para wali itu, telah menyimpang menjadi sinkretisme yang sesat dan bid’ah. Masyarakat luas sudah tidak tahu menahu lagi konteks persoalan apalagi nilai filosofis yang semula dianjurkan dan dijelaskan oleh para Wali.

Sedekahan ini seperti halnya juga sekateen-an yang dimaksudkan untuk perayaan memperingati maulid Nabi Muhammad saw. yang biasa dilangsungkan di seluruh kerajaan Jawa. Menurut Sulendraningrat (1985:85) berasal dari kata sekati atau sukahati, nama gamelan alat dakwah yang pertama dibawa oleh Ratu Ayu, istri dari Pangeran sabrang Lor (Sultan Demak-II), setelah wafat suaminya, sebagai benda kenang-kenangan almarhum suaminya. Ada pula memberi pengertian bahwa gamelan sekati diartikan sebagai syahadatain (Syahadat dua), yakni dua kalimat syahadat. Konon ketika orang-orang ingin menonton gamelan, mereka diperkenankan asal mengucapkan dua kalimat syahadat.

Perayaan sekaten ini biasanya dipusatkan di alun-alun ibukota kerajaan Islam yang dapat dinikmati bersama khalayak ramai pada umumnya. Perayaan sekaten ini dimulai tujuh hari sebelum tiba peringatan hari Maulid Nabi Muhammad saw. Yang tepatnya jatuh pada tanggal 12 Rabi’ul Awal. Sekaten diakhiri dengan upacara gerebeg, yaitu upacara yang berpuncak pada sratun nabiy (pembacaan riwayat Nabi Muhammad saw.) dan sedekah sultan, yakni membagi-bagi makanan hadiah sultan di Mesjid Agung. Acara ini dihadiri oleh sultan dan pembesar-pembesar kerajaan. Sekaten ini satu-satunya upacara dan perayaan terbesar karena pergelarannya merupakan upacara memperingati hari lahir Nabi Muhammad saw. Dalam saat-saat gerebeg inilah, adipati-adipati, raja-raja muda, bupati-bupati, dan pembesar-pembesar wilayah kerajaan diterima menghadap Sultan untuk menunjukkan sikap bakti dan hormat taatnya kepada Sultan sembari mengayu bagja pada hari mulia lagi meriah itu (Lihat Saksono, 1995:150-151).

Upacara peringatan maulid Nabi Muhammad saw. di keraton Cirebon menurut Sulendraningrat (1985:83-84) dimulai diadakan—dan dilaksanakan secara besar-besaran—ketika pengangkatan SGD sebagai wali kutub pada tahun 1470 M. Perayaan ini di kalangan masyarakat Cirebon dikenal dengan iring-iringan panjang jimat.

Aktivitas perayaan keagamaan (Islam) yang dilakukan oleh kerabat karaton menunjukkan bahwa SGD dan keturunannya dalam struktur sosial—dengan mengutip pendapat Geertz dalam taksonomi santri, abangan, dan priyayi—oleh Siddique (1977:91) dimasukkan ke dalam anak bangsa kaum santri sebagai legitimasi dari peran, fungsi, dan kedudukan esensial SGD sebagai panatagama.

Memang, selama abad ke-16, terjadi suatu transformasi luar biasa di bidang budaya di kota-kota pelabuhan di Jawa, yang ketika itu merupakan pusat-pusat kakayaan dan ide-ide yang menarik minat orang-orang Jawa yang berbakat. Masjid-masjid dan makam-makam suci dibangun dengan paduan batu-bata dan seni hias dengan pilar-pilar raksasa dari kayu meniru pedopo Jawa untuk keperluan ritual Islam (Reid, 1988:175). Demikian pula, Cirebon menjadi pusat penyebaran Islam di pulau Jawa bagian barat sekaligus menjadi pusat peradaban Islam yang memiliki beberapa karekter antara lain:

Pertumbuhan kehidupan kota bernafaskan Islam dengan pola-pola penyusunan masyarakat secara hirarki sosial yang kompleks.

Berkembangnya arsitektur baik sakral maupun profan, misalnya mesjid agung Cirebon (sang Cipta Rasa), keraton-keraton (kasepuhan, kanoman, Kacerbonan, dan Kaprabonan), dan bangunan sitingil yang mengadapatasi rancang bangun dan ornamen lokal termasuk pra-Islam.

Pertumbuhan seni lukis kaca dan seni pahat yang menghasilkan karya-karya kaligrafi Islam yang sangat khas Cirebon yang antara lain memperlihatkan hadirnya anasir antropomorfis yang tidak lazim dalam seni rupa Islam.

Perkembangan bidang kesenian lainnya seperti tari, membatik, musik, dan berbagai seni pertunjukkan tradisional bernafaskan Islam, ragam hias awan khas Cirebon, dan lain-lain.

Pertumbuhan penulisan naskah-naskah keagamaan dan pemikiran keagamaan yang sisa-sisanya masih tersimpan di keraton-keraton Cirebon dan tempat-tempat lain di Jawa Barat—seperti Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang dan Museum Cigugur Kuningan—yang sampai sekarang belum seluruhnya dipelajari secara seksama.

Tumbuhnya tarekat aliran syatariyah yang kemudian melahirkan karya-karya sastra dalam bentuk serat suluk yang mengandung ajaran wujudiah atau martabat yang tujuh. Tradisi serat suluk ini kemudian amat berpengaruh pada tradisi sastra tulis serupa di Surakarta.

Tumbuhnya pendidikan Islam dalam bentuk pesantren di sekitar Cirebon, Indramayu, Karawang, Majalengka, dan Kuningan (Ambary, 1998:109-110).

Peradaban Islam yang disebarkan oleh SGD memberi kontribusi pada pembentukan cara pandang dunia yang menekankan aspek teosentrik, berkisar sekitar Tuhan, daripada konsep peradaban barat yang lebih menekankan pada aspek antroposentrik, berkisar pada manusia. Peradaban atau tamaddun Islam di Cirebon (dan Banten), seperti disebutkan dalam naskah-naskah tradisi Cirebon, telah mengubah dua desa nelayan yang semula tidak berarti menjadi dua kota metropolis dan sentral aktivitas keagamaan Islam, dengan pelopor utamanya adalah Sunan Gunung Djati. Wallahu a’lam.***

Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang; Tiga Tokoh Penyebar Agama Islam di Tanah Pasundan

Oleh ASEP AHMAD HIDAYAT

BERBICARA tentang proses masuknya Islam (Islamisasi) di seluruh tanah Pasundan atau tatar Sunda yang sekarang masuk ke dalam wilayah Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat, maka mesti berbicara tentang tokoh penyebar dari agama mayoritas yang dianut suku Sunda tersebut. Menurut sumber sejarah lokal (baik lisan maupun tulisan) bahwa tokoh utama penyebar Islam awal di tanah Pasundan adalah tiga orang keturunan raja Pajajaran, yaitu Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Prabu Kian Santang.

Sampai saat ini, masih terdapat sebagian penulis sejarah yang meragukan keberadaan dan peran dari ketiga tokoh tersebut. Munculnya keraguan itu salah satunya disebabkan oleh banyaknya nama yang ditujukan kepada mereka. Misalnya, dalam catatan beberapa penulis sejarah nasional disebutkan bahwa nama Paletehan (Fadhilah Khan) disamakan dengan Syarif Hidayatullah. Padahal dalam sumber sejarah lokal (cerita babad), dua nama tersebut merupakan dua nama berbeda dari dua aktor sejarah dan memiliki peranan serta kedudukan yang berbeda pula dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan (dan Nusantara).

Selain faktor yang telah disebutkan, terdapat juga faktor-faktor lainnya yang mengakibatkan munculnya keraguan terhadap ketiga tokoh tersebut. Di antaranya seperti kesalahan pengambilan sumber yang hanya mengambil sumber asing seperti catatan orang Portugis atau Belanda; atau juga disebabkan sering banyaknya mitos yang dijumpai para penulis sejarah dalam beberapa sumber lokal. Kondisi seperti ini sangat membingungkan dan meragukan setiap orang yang ingin mencoba merekonstruksi ketiga tokoh penyebar Islam di tanah Pasundan tersebut.

Dengan berdasarkan pada realitas historis semacam itu, maka tulisan ini akan mencoba mengungkap misteri atau ketidakjelasan kedudukan, fungsi, dan peran ketiga tokoh itu dalam proses Islamisasi di tanah Pasundan. Dengan demikian diharapkan tulisan ini dapat memberikan sumbangan berarti terhadap khazanah sejarah kebudayaan Islam-Sunda yang sampai saat ini dirasakan masih kurang. Selain itu diharapkan juga dapat memberikan informasi awal bagi para peminat dan peneliti tentang sejarah Islam di tanah Pasundan.

Sumber-sumber Sejarah

SEBENARNYA banyak sumber sejarah yang belum tergali mengenai bagaimana proses penyebaran Islam (Islamisasi) di tanah Pasundan. Sumber-sumber tersebut berkisar pada sumber lisan, tulisan, dan artefak (bentuk fisik). Sumber lisan yang terdapat di tanah Pasundan tersebar dalam cerita rakyat yang berlangsung secara turun temurun, misalnya tentang cerita “Kian Santang bertemu dengan Sayyidina Ali” atau cerita tentang “Ngahiang-nya Prabu Siliwangi jadi Maung Bodas” dan lainnya. Begitu pula sumber lisan (naskah), sampai saat ini msaih banyak yang belum disentuh oleh para ahli sejarah atau filolog. Naskah-naskah tersebut berada di Museum Nasional, di Keraton Cirebon Kasepuhan dan Kanoman, Museum Geusan Ulun, dan di daerah-daerah tertentu di wilayah Jawa Barat dan Banten, seperti di daerah Garut dan Ciamis. Di antara naskah yang terpenting yang dapat dijadikan rujukan awal adalah naskah Babad Cirebon, naskah Wangsakerta, Babad Sumedang, dan Babad Limbangan.

Sumber lainnya yang dapat dijadikan alat bantu untuk mengetahui proses perkembangan Islam di tanah Pasundan ialah artefak (fisik) seperti keraton, benda-benda pusaka, maqam-maqam para wali, dan pondok pesantren. Khusus mengenai maqam para wali dan penyebar Islam di tanah Pasundan adalah termasuk cukup banyak seperti Syeikh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Rahmat (Garut), Eyang Papak (Garut), Syeikh Jafar Sidik (Garut), Sunan Mansyur (Pandeglang), dan Syeikh Qura (Kerawang). Lazimnya di sekitar area maqam-maqam itu sering ditemukan naskah-naskah yang memiliki hubungan langsung dengan penyebaran Islam atau dakwah yang telah dilakukan para wali tersebut, baik berupa ajaran fiqh, tasawuf, ilmu kalam, atau kitab al-Qur’an yang tulisannya merupakan tulisan tangan.

Tokoh Cakrabuana

BERDASARKAN sumber sejarah lokal (seperti Babad Cireboni) bahwa Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang merupakan tiga tokoh utama penyebar Islam di seluruh tanah Pasundan. Ketiganya merupakan keturunan Prabu Sliliwangi (Prabu Jaya Dewata atau Sribaduga Maha Raja) raja terakhir Pajajaran (Gabungan antara Galuh dan Sunda). Hubungan keluarga ketiga tokoh tersebut sangatlah dekat. Cakrabuana dan Kian Santang merupakan adik-kakak. Sedangkan, Syarif Hidayatullah merupakan keponakan dari Cakrabuana dan Kian Santang. Syarif Hidayatullah sendiri merupakan anak Nyai Ratu Mas Lara Santang, sang adik Cakrabuana dan kakak perempuan Kian Santang.

Cakrabuana (atau nama lain Walangsungsang), Lara Santang, dan Kian Santang merupakan anak Prabu Siliwangi dan hasil perkawinannya dengan Nyai Subang Larang, seorang puteri Ki Gede Tapa, penguasa Syah Bandar Karawang. Peristiwa pernikahannya terjadi ketika Prabu Siliwangi belum menjadi raja Pajajaran; ia masih bergelar Prabu Jaya Dewata atau Manahrasa dan hanya menjadi raja bawahan di wilayah Sindangkasih (Majalengka), yaitu salah satu wilayah kekuasaan kerajaan Galuh Surawisesa (kawali-Ciamis) yang diperintah oleh ayahnya Prabu Dewa Niskala. Sedangkan kerajaan Sunda-Surawisesa (Pakuan/Bogor) masih dipegang oleh kakak ayahnya (ua: Sunda) Prabu Susuk Tunggal.

Sebelum menjadi isteri (permaisuri) Prabu Siliwangi, Nyai Subang Larang telah memeluk Islam dan menjadi santri (murid) Syeikh Hasanuddin atau Syeikh Quro. Ia adalah putera Syeikh Yusuf Siddiq, ulama terkenal di negeri Champa (sekarang menjadi bagian dari Vietnam bagian Selatan). Syeikh Hasanuddin datang ke pulau Jawa (Karawang) bersama armada ekspedisi Muhammad Cheng Ho (Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong) dari dinasti Ming pada tahun 1405 M. Di karawang ia mendirikan pesantren yang diberi nama Pondok Quro. Oleh karena itu ia mendapat gelar (laqab) Syeikh Qura. Ajaran yang dikembangkan oleh Syeikh Qura adalah ajaran Islam Madzhab Hanafiah.

Pondok Quro yang didirikan oleh Syeikh Hasanuddin tersebut merupakan lembaga pendidikan Islam (pesantren) pertama di tanah Pasundan. Kemudian setelah itu muncul pondok pesantren di Amparan Jati daerah Gunung Jati (Syeikh Nurul Jati). Setelah Syeikh Nurul Jati meninggal dunia, pondok pesantren Amparan Jati dipimpin oleh Syeikh Datuk Kahfi atau Syeikh Idhopi, seorang ulama asal Arab yang mengembangkan ajaran Islam madzhab Syafi’iyyah.

Sepeninggal Syeikh Hasanuddin, penyebaran Islam melalui lembaga pesantren terus dilanjutkan oleh anak keturunannya, di antaranya adalah Musanuddin atau Lebe Musa atau Lebe Usa, cicitnya. Dalam sumber lisan, Musanuddin dikenal dengan nama Syeikh Benthong, salah seorang yang termasuk kelompok wali di pulau Jawa (Yuyus Suherman, 1995:13-14).

Dengan latar belakang kehidupan keberagamaan ibunya seperti itulah, maka Cakrabuana yang pada waktu itu bernama Walangsungsang dan adiknya Nyai Lara Santang memiliki niat untuk menganut agama ibunya daripada agama ayahnya (Sanghiyang) dan keduanya harus mengambil pilihan untuk tidak tetap tinggal di lingkungan istana. Dalam cerita Babad Cirebon dikisahkan bahwa Cakrabuana (Walangsungsang) dan Nyai Lara Santang pernah meminta izin kepada ayahnya, Prabu Jaya Dewata, yang pada saat itu masih menjadi raja bawahan di Sindangkasih untuk memeluk Islam. Akan tetapi, Jaya Dewata tidak mengijinkannya. Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang akhirnya meninggalkan istana untuk berguru menimba pengetahuan Islam. Selama berkelana mencari ilmu pengetahuan Islam, Walangsungsang menggunakan nama samaran yaitu Ki Samadullah. Mula-mula ia berguru kepada Syeikh Nurjati di pesisir laut utara Cirebon. Setelah itu ia bersama adiknya, Nyai Mas Lara Santang berguru kepada Syeikh Datuk Kahfi (Syeikh Idhopi).

Selain berguru agama Islam, Walangsungsang bersama Ki Gedeng Alang Alang membuka pemukinan baru bagi orang-orang yang beragama Islam di daerah pesisir. Pemukiman baru itu dimulai tanggal 14 Kresna Paksa bukan Caitra tahun 1367 Saka atau bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 849 Hijrah (8 April 1445 M). Kemudian daerah pemukiman baru itu diberi nama Cirebon (Yuyus Suherman, 1995:14). Penamaan ini diambil dari kata atau bahasa Sunda, dari kata “cai” (air) dan “rebon” (anak udang, udang kecil, hurang). Memang pada waktu itu salah satu mata pencaharian penduduk pemukiman baru itu adalah menangkap udang kecil untuk dijadikan bahan terasi. Sebagai kepada (kuwu; Sunda) pemukiman baru itu adalah Ki Gedeng Alang Alang, sedangkan wakilnya dipegang oleh Walangsungsang dengan gelar Pangeran Cakrabuana atau Cakrabumi.

Setelah beberapa tahun semenjak dibuka, pemukian baru itu (pesisir Cirebon) telah menjadi kawasan paling ramai dikunjungi oleh berbagai suku bangsa. Tahun 1447 M, jumlah penduduk pesisir Cirebon berjumlah 348 jiwa, terdiri dari 182 laki-laki dan 164 wanita. Sunda sebanyak 196 orang, Jawa 106 orang, Andalas 16 orang, Semenanjung 4 orang, India 2 orang, Persia 2 orang, Syam (Damaskus) 3 orang, Arab 11 orang, dan Cina 6 orang. Agama yang dianut seluruh penduduk pesisir Cirebon ini adalah Islam.

Untuk kepentingan ibadah dan pengajaran agama Islam, pangeran Cakrabuana (Walangsungsang atau Cakrabumi, atau Ki Samadullah) kemudian ia mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Sang Tajug Jalagrahan (Jala artinya air; graha artinya rumah), Mesjid ini merupakan mesjid pertama di tatar Sunda dan didirikan di pesisir laut Cirebon. Mesjid ini sampai saat ini masih terpelihara dengan nama dialek Cirebon menjadi mesjid Pejalagrahan. Sudah tentu perubahan nama ini, pada dasarnya berpengaruh pada reduksitas makna historisnya. Setelah mendirikan pemukiman (padukuhan; Sunda) baru di pesisir Cirebon, pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Ketika di Mekah, Pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang bertemu dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa (sultan) kota Mesir pada waktu itu. Syarif Abdullah sendiri, secara geneologis, merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw. generasi ke-17.

Dalam pertemuan itu, Syarif Abdullah merasa tertarik hati atas kecantikan dan keelokan Nyai Mas Lara Santang. Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana mendapat gelar Haji Abdullah Iman, dan Nyai Mas Lara Santang mendapat gelar Hajjah Syarifah Muda’im. Selanjutnya, Nyai Mas Larasantang dinikahkan oleh Pangeran Cakrabuana dengan Syarif Abdullah. Di Mekah, Pangeran Walangsungsang menjadi mukimin selama tiga bulan. Selama tiga bulan itulah, ia belajar tasawuf kepada haji Bayanullah, seorang ulama yang sudah lama tinggal di Haramain. Selanjutnya ia pergi ke Baghdad mempelajari fiqh madzhab Hanafi, Syafi’i, Hambali, dan Maliki.

Selang beberapa waktu setelah pengeran Cakrabuana kembali ke Cirebon, kakeknya dari pihak ibu yang bernama Mangkubumi Jumajan Jati atau Ki Gedeng Tapa meninggal dunia di Singapura (Mertasinga). Yang menjadi pewaris tahta kakeknya itu adalah pangeran Cakrabuana. Akan tetapi, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan tahta kekuasaan kakeknya di Singapura (Mertasinga). Ia membawa harta warisannya ke pemukiman pesisir Cirebon. Dengan modal harta warisan tersebut, pangeran Cakrabuana membangun sebuah keraton bercorak Islam di Cirebon Pesisir. Keraton tersebut diberi nama Keraton Pakungwati. Dengan berdirinya Keraton Pakungwati berarti berdirilah sebuah kerajaan Islam pertama di tatar Sunda Pajajaran. Kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Pangeran Cakrabuana tersebut diberi nama Nagara Agung Pakungwati Cirebon atau dalam bahasa Cirebon disebut dengan sebutan Nagara Gheng Pakungwati Cirebon.

Mendengar berdirinya kerajaan baru di Cirebon, ayahnya Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata (atau Prabu Suliwangi) merasa senang. Kemudian ia mengutus Tumenggung Jayabaya untuk melantik (ngistrénan; Sunda) pangeran Cakrabuana menjadi raja Nagara Agung Pakungwati Cirebon dengan gelar Abhiseka Sri Magana. Dari Prabu Siliwangi ia juga menerima Pratanda atau gelar keprabuan (kalungguhan kaprabuan) dan menerima Anarimakna Kacawartyan atau tanda kekuasaan untuk memerintah kerajaan lokal. Di sini jelaslah bahwa Prabu Siliwangi tidak anti Islam. Ia justeru bersikap rasika dharmika ring pamekul agami Rasul (adil bijaksana terhadap orang yang memeluk agama Rasul Muhammad).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang pertama sukses menyebarkan agama Islam di tatar Sunda adalah Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang atau Ki Samadullah atau Haji Abdullah Iman. Ia merupakan Kakak Nyai Mas Lara Santang dan Kian Santang, dan ketiganya merupakan anak-anak dari Prabu Siliwangi. Dengan demikian, ia merupakan paman (ua; Sunda) dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Ia dimakamkan di Gunung Sembung dan makamnya berada luar komplek pemakaman (panyawéran; Sunda) Sunan Gunung Jati.

Tokoh Kian Santang

SEBAGAIMANA halnya dengan prabu Siliwangi, Kian Santang merupakan salah satu tokoh yang dianggap misterius. Akan tetapi tokoh ini, dalam cerita lisan dan dunia persilatan (kependekaran) di wilayah Sunda, terutama di daerah Priangan, sangatlah akrab dan legendaris dengan pikiran-pikiran orang Sunda. Dalam tradisi persilatan, Kian Santang terkenal dengan sebutan Gagak Lumayung. Sedangkan nama Kian Santang sendiri sangat terkenal dalam sejarah dakwah Islam di tatar Sunda bagian pedalaman.

Sampai saat ini terdapat beberapa versi mengenai tokoh sejarah yang satu ini. Bahkan tidak jarang ada juga yang meragukan tentang keberadaan tokoh ini. Alasannya adalah bahwa sumber sejarah yang akurat faktual dari tokoh ini kurang dapat dibuktikan. Sudah tentu pendapat semacam ini adalah sangat gegabah dan ceroboh serta terburu-buru dalam mengambil kesimpulannya. Jika para sejarawan mau jujur dan teliti, banyak sumber-sumber sejarah yang dapat digunakan bahan penelitian lanjut mengenai tokoh ini, baik itu berupa sumber sejarah lisan, tulisan, maupun benda-benda sejarah. Salah satunya adalah patilasan Kian Santang di Godog Garut, atau Makam Kian Santang yang berada di daerah Depok Pakenjeng Garut. Kalaulah ada hal-hal yang berbau mitos, maka itu adalah merupakan tugas sejarawan untuk memilahnya, bukannya memberi generalisir yang membabi buta, seolah-olah dalam seluruh mitologi tidak ada cerita sejarah yang sebenarnya.

Sampai saat ini terdapat empat sumber sejarah (lisan dan tulisan) yang menceritakan tentang sepak terjang tokoh Kian Santang yang sangat legendaris itu. Keempat sumber itu, ialah (1) cerita rakyat, (2) sejarah Godog yang diceritakan secara turun menurun; (3) P. de Roo de la Faille; dan 4) Babad Cirebon karya P.S. Sulendraningrat. Terdapat beberapa versi cerita rakyat mengenai perjalanan dakwah Kian Santang, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang bertanding kekuatan gaib dengan Sayyidina Ali dan Prabu Kian Santang tidak mampu mencabut tongkat yang ditancapkan oleh Baginda Ali kecuali sesudah Prabu Kian Santang membaca kalimat Syahadat.

Di dalam cerita lisan lainnya, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang adalah putera raja Pajajaran yang masuk Islam. Ia pergi ke Arab, masuk Islam dan setelah kembali ia memakai nama Haji Lumajang. Cerita lainnya lagi mengatakan bahwa Prabu Kian Santang mengajar dan menyebarkan agama Islam di Pajajaran dan mempunyai banyak pengikut; dan banyak pula putra raja yang masuk Islam; bahwa Prabu Kian Santang diusir dari keraton dan tidak lagi menganut agama nenek moyangnya dan menghasut raja Pajajaran, bahwa ia akhirnya pergi ke Campa sewaktu kerajaan Pajajaran runtuh.

Dari cerita rakyat tersebut terdapat alur logis yang menunjukkan kebenaran adanya tokoh Kian Santang sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Misalnya alur cerita tentang “Haji Lumajang” atau ia pergi ke Campa ketika kerajaan Pajajaran runtuh. Atau istilah Pajajaran itu sendiri yang sesuai dengan data arkeologi dan sumber data yang lainya seperti Babad tanah Cirebon dan lainnya.

Adapun mengenai pertemuannya dengan Sayyidina Ali, boleh jadi nama tersebut bukanlah menantu Rasulullah yang meninggal pada tahun 661 M, melainkan seorang syekh (guru) tarekat tertentu atau pengajar tertentu di Mesjid al-Haram. Jika sulit dibuktikan kebenarannya, maka itulah suatu bumbu dari cerita rakyat; bukan berarti seluruh cerita itu adalah mitos, tahayul, dan tidak ada buktinya dalam realitas sejarah manusia Sunda.

Sejalan dengan cerita rakyat di atas, P. de Roo de la Faille menyebut bahwa Kian Santang sebagai Pangeran Lumajang Kudratullah atau Sunan Godog. Ia diidentifikasi sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Kesimpulan ini didasarkan pada bukti-bukti fisik berupa satu buah al-Qur’an yang ada di balubur Limbangan, sebuah skin (pisau Arab) yang berada di desa Cinunuk (distrik) Wanaraja Garut, sebuah tongkat yang berada di Darmaraja, dan satu kandaga (kanaga, peti) yang berada di Godog Karangpawitan Garut.

Dalam sejarah Godog, Kian Santang disebutnya sebagai orang suci dari Cirebon yang pergi ke Preanger (Priangan) dan dari pantai utara. Ia membawa sejumlah pengikut agama Islam. Adapun yang menjadi sahabat Kian Santang setelah mereka masuk Islam dan bersama-sama menyebarkan Islam, menurut P. de Roo de la Faille, berjumlah 11 orang, yaitu 1) Saharepen Nagele, 2) Sembah Dora, 3) Sembu Kuwu Kandang Sakti (Sapi), 4) Penghulu Gusti, 5) Raden Halipah Kandang Haur, 6) Prabu Kasiringanwati atau Raden Sinom atau Dalem Lebaksiuh, 7) Saharepen Agung, 8 ) Panengah, 9) Santuwan Suci, 10) Santuwan Suci Maraja, dan 11) Dalem Pangerjaya.

Dari seluruh cerita rakyat tersebut dapat disimpulkan bahwa Kian Santang merupakan salah seorang putra Pajajaran, yang berasal dari wilayah Cirebon dan merupakan seorang penyebar agama Islam di Pajajaran. Kesimpulan ini dapat dicocokkan dengan berita yang disampaikan oleh P.S. Sulendraningrat yang mengatakan bahwa pada abad ke-13, kerajaan Pajajaran membawahi kerajaan-kerajaan kecil yang masing-masing diperintah oleh seorang raja. Di antaranya adalah kerajaan Sindangkasih (Majalengka) yang diperintah oleh Sri Baduga Maharaja (atau Prabu Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi). Pada waktu itu Prabu Jaya Dewata menginspeksi daerah-daerah kekuasaannya, sampailah ia di Pesantren Qura Karawang, yang pada waktu itu dipimpin oleh Syeikh Hasanuddin (ulama dari Campa) keturunan Cina. Di pesantren inilah ia bertemu dengan Subang Larang, salah seorang santri Syeikh Qura yang kelak dipersunting dan menjadi ibu dari Pangeran Walangsungsang, Ratu Lara Santang, dan Pangeran Kian Santang.

Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa Kian Santang merupakan salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan yang diperkirakan mulai menyiarkan dan menyebarkan agama Islam pada tahun 1445 di daerah pedalaman. Ia adalah anak dari Prabu Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi, raja terakhir Pajajaran. Ia berasal dari wilayah Cirebon (Sindangkasih; Majaengka), yaitu ketika bapaknya masih menjadi raja bawahan Pajajaran, ia melarikan diri dan menyebarkan Islam di wilayah Pasundan (Priangan) dan Godog, op groundgebied. Limbangan merupakan pusat penyebaran agama Islam pertama di Tatar Sunda (khususnya di wilayah Priangan). Selain di Godog pada waktu itu, sebagian kecil di pantai utara sudah ada yang menganut Islam sebagai hubungan langsung dnegan para pedagang Arab dan India.

Mula-mula Kian Santang mengislamkan raja-raja lokal, seperti Raja Galuh Pakuwon yang terletak di Limbangan, bernama Sunan Pancer (Cipancar) atau Prabu Wijayakusumah (1525-1575). Raja yang satu ini merupakan putra Sunan Hande Limasenjaya dan cucu dari Prabu Layangkusumah. Prabu Layangkusumah sendiri adalah putra Prabu Siliwangi. Dengan demikian Sunan Pancer merupakan buyut Prabu Siliwangi. Kian Santang menghadiahkan kepada Sunan Pancer satu buah al-Qur;an berkukuran besar dan sebuak sekin yang bertuliskan lafadz al-Qur’an la ikroha fiddin. Berkat Sunan Pancer ini Islam dapat berkembang luas di daerah Galuh Pakuwon, sisi kerajaan terakhir Pajajaran.

Para petinggi dan raja-raja lokal lainnya yang secara langsung diIslamkan oleh Kian Santang di antaranya, ialah (1) Santowan Suci Mareja (sahabat Kian Santang yang makamnya terletak dekat makam Kian Santang); 2) Sunan Sirapuji (Raja Panembong, Bayongbong), 3) Sunan Batuwangi yang sekarang terletak di kecamatan Singajaya (ia dihadiahi tombak oleh Kian Santang dan sekarang menjadi pusaka Sukapura dan ada di Tasikmalaya.

Melalui raja-raja lokal inilah selanjutnya Islam menyebar ke seluruh tanah Priangan. Kemudian setelah itu Islam disebarkan oleh para penyebar Islam generasi berikutnya, yaitu para sufi seperti Syeikh Jafar Sidiq (Penganut Syatariah) di Limbangan, Eyang Papak, Syeikh Fatah Rahmatullah (Tanjung Singguru, Samarang, Garut), Syeikh Abdul Muhyi (penganut Syatariyah; Pamijahan, Tasikmalaya), dan para menak dan ulama dari Cirebon dan Mataram seperti Pangeran Santri di Sumedang dan Arif Muhammad di Cangkuang (Garut).

Tokoh Syarif Hidayatullah

SEPERTI telah diuraikan di atas bahwa ketika selesai menunaikan ibadah haji, Nyi Mas Larasantang dinikahkan oleh kakaknya (Walangsungsang) dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa kota Mesir dari klan al-Ayyubi dari dinasti Mamluk. Ia adalah putera dari Nurul Alim atau Ali Burul Alim yang mempunyai dua saudara, yaitu Barkat Zainal Abidin (buyut Fadhilah Khan, Faletehan) dan Ibrahim Zainal Akbar, yaitu ayah dari Ali Rahmatullah atau raden Rahmat atau Sunan Ampel (Yuyus Suherman, 1995:14). Nurul Alim, Barkat Zainal Abidin, dan Ibrahim Zainal Akbar merupakan keturunan Rasulullah saw. Nurul Alim menikah dengan puteri penguasa Mesir (wali kota), karena itulah Syarif Abdullah (puteranya) menjadi penguasa (wali kota) Mesir pada masa dinasti Mamluk. Hasil pernikahan antara Syarif Abdullah dengan Nyi Mas Larasantang melahirkan dua putera yaitu, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yang lahir di Mekkah pada tahun 1448 dan Syarif Nurullah yang lahir di Mesir.

Syarif Hidayatullah muda berguru agama kepada beberapa ulama terkenal saat itu. Di antaranya ia berguru kepada Syeikh Tajuddin al-Kubri di Mekkah dan Syeikh Athaillah, seorang penganut terekat Sadziliyyah dan pengarang kitab tasawuf, al-Hikam, masing-masing selama dua tahun. Setelah merasa cukup pengetahuan agamanya, ia memohon kepada kedua orang tuanya untuk berkunjung kepada kakak ibunya (Pangeran Cakrabuana) di Cirebon yang pada waktu itu menduduki tahta kerajaan Islam Pakungwati.

Selama di perjalanan menujuk kerajaan Islam Pakungwati di Cirebon, Syarif Hidayatullah menyempatkan diri untuk singgah di beberapa tempat yang dilaluinya. Di Gujarat India, ia singgah selama tiga bulan dan sempat menyebarkan Islam di tempat itu. Di Gujarat ia mempunyai murid, yaitu Dipati Keling beserta 98 anak buahnya. Bersama Dipati Keling dan pengikutnya, ia meneruskan perjalanannya menuju tanah Jawa. Ia pun sempat singgah di Samudera Pasai dan Banten. Di Pasai ia tinggal selama dua tahun untuk menyebarkan Islam bersama saudaranya Syeikh Sayyid Ishak. Di Banten ia sempat berjumpa dengan Sayyid Rakhmatullah (Ali Rakhmatullah atau Syeikh Rahmat, atau Sunan Ampel) yang sedang giatnya menyebarkan Islam di sana.

Sesampainya di Cirebon, Syarif Hidayatullah giat menyebarkan agama Islam bersama Syeikh Nurjati dan Pangeran Cakrabuana. Ketika itu, Pakungwati masih merupakan wilayah kerajaan Galuh dengan rajanya adalah Prabu Jaya Dewata, yang tiada lain adalah kakek dari Syarif Hidayatullah dan ayah dari Nyi Mas Larasantang. Oleh karena itu, Prabu Jaya Dewata tidak merasa khawatir dengan perkembangan Islam di Cirebon. Syarif Hidayatullah bahkan diangkat menjadi guru agama Islam di Cirebon, dan tidak lama kemudian ia pun diangkat semacam “kepala” di Cirebon. Syarif Hidayatullah giat mengadakan dakwah dan menyebarkan Islam ke arah selatan menuju dayeuh (puseur kota) Galuh. Prabu Jaya Dewata mulai gelisah, kemudian ia memindahkan pusat pemerintahannya ke Pakuan Pajajaran yang terletak di wilayah kerajaan Sunda dengan rajanya Prabu Susuktunggal, yang masih merupakan paman (ua; Sunda) dari Jaya Dewata. Tetapi karena Pabu Jaya Dewata menikah dengan Mayang Sunda, puteri Susuk Tunggal, maka perpindahan bobot kerajaan dari Galuh (Kawali Ciamis) ke Pakuan Pajajaran (Bogor) bahkan mempersatukan kembali Galuh-Sunda yang pecah pada masa tahta Prabu Dewa Niskala, ayah Prabu Jaya Dewata. Di Pajajaran, Prabu Jaya Dewata mengganti namanya menjadi Sri Baduga Maharaja (lihat Didi Suryadi, Babad Limbangan, 1977:46).

Pada tahun 1479, Pangeran Cakrabuana mengundurkan diri dari tapuk pimpinan kerajaan Pakungwati. Sebagai penggatinya, maka ditasbihkanlah Syarif Hidayatullah sebagai sultan Cirebon yang baru. Di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, Pakungwati mengalami puncak kemajuannya, sehingga atas dukungan dari rakyat Cirebon, Wali Songo, dan Kerajaan Demak, akhirnya Pakungwati melepaskan diri dari Pajajaran. Sudah tentu, sikap ini mengundang kemarahan Prabu Jaya Dewata dan berusaha mengambil alih kembali Cirebon. Namun penyerangan yang dilakukan Prabu Jaya Dewata tidak berlangsung lama. Dikatakan bahwa Prabu Jaya Dewata mendapatkan nasihat dari para Purohita (pemimpin agama Hyang) yang menyatakan bahwa tidak pantas terjadi pertumpahan darah antara kakek dan cucunya. Lagi pula berdirinya Cirebon pada dasarnya merupakan atas jerih payah putera darah biru Pajajaran, yaitu Pengeran Cakrabuana.

Pada tanggal 13 Desember 1521 M, Prabu Siliwangi mengundurkan diri dari tahta kerajaan Pajajaran, untuk selanjutnya menjadi petapa suci sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Sebagai penggantinya adalah Pangeran Surawisesa yang dilantik pada bukan Agustus 1522 M dengan gelar Sanghyang. Pangeran Surawisesa inilah yang secara resmi melakukan perjanjian kerjasama dengan Portugis yang naskah perjanjiannya ditandatangani pada 21 Agustus 1522 M, berisi tentang kerjasama di bidang perdagangan dan pertahanan. Rintisan kerja sama antara Pajajaran dan Portugis itu telah dirintis sejak Prabu Jaya Dewata masih berkuasa. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa pertama dalam sejarah diplomatik Nusantara, boleh dikatakan bahwa ia merupakan seorang raja dari Nusantara yang pertama kali melakukan hubungan diplomatik dengan orang-orang Eropa.

Perjanjian kerjasama antara Pajajaran dan Portugis itu telah menimbulkan kekhawatiran bagi kerajaan Demak dan Cirebon. Karena itulah pada tahun 1526 M, Sultan Trenggono dari Demak mengutus Fadhilah Khan (Fathailah atau Faletehan) ke Cirebon untuk sama-sama menguasai Sunda Kelapa yang pada waktu itu masih berada dalam kekuasaan Pajajaran. Strategi ini diambil agar pihak Portugis tidak dapat menduduki pelabuhan Sunda Kelapa. Tidak berapa lama pad atahun 1527 M Portugis datang ke Sunda Kelapa untuk mewujudkan cita-cita mendirikan benteng di Muara Kali Ciliwung daerah bandar Sunda Kelapa. Namun pasukan Portugis dipukul mundur oleh pasukan Fadhilah Khan yang waktu itu sudah bergelar Pangeran Jayakarta.

Banyak nama yang dinisbahkan pada Pengeran terakhir ini, yaitu Pengeran Jayakarta, Fatahilah, Faletehan, Tagaril, dan Ki Bagus Pase. Penisbahan nama terakhir terhadapnya karena ia berasal dari Samudera Pasai. Ia merupakan menantu Sultan Trenggono dan Sultan Syarif Hidayatullah. Hal ini karena Faletehan selain menikah dengan Ratu Pembayun (Demak), ia juga menikah dengan Ratu Ayu atau Siti Winahon, puteri Syarif Hidayatullah, janda Pati Unus yang gugur di Malaka (Yuyus Suherman, 1995:17). Dengan menikahi putri Demak dan Cirebon, maka Faletehan memiliki kedudukan penting di lingkungan keluarga kedua keraton itu. Karena itulah, ketika Syarif Hidayatullah meninggal pada 19 September 1568 M, maka Faletehan diangkat menjadi pengganti Syarif Hidayatullah sebagai Sultan di Cirebon. Peristiwa itu terjadi ketika Pangeran Muhammad Arifin (Pangeran Pasarean), putra Syarif Hidayatullah, mengundurkan diri dari tahta kerajaan Islam Cirebon. Muhammad Arifin sendiri lebih memilih menjadi penyebar Islam di tatar Sunda bagian utara dan sejak itulah ia lebih dikenal dengan nama Pangeran Pasarean.

Ketika Faletehan naik tahta di Cirebon ini, saat itu, Jayakarta (Sunda Kelapa) diperintah oleh Ratu Bagus Angke, putra Muhammad Abdurrahman atau Pangeran Panjunan dari putri Banten. Namun Faletehan menduduki tahta kerajaan Cirebon dalam waktu yang tidak lama, yakni hanya berlangsung selama dua tahun, karena ia mangkat pada tahun 1570 M. Ia dimakamkan satu komplek dengan mertuanya, Syarif Hidayatullah, yakni di Astana Gunung Jati Cirebon. Ia kemudian digantikan oleh Panembahan Ratu.

Khatimah

DEMIKIANLAH sekilas mengenai uraian historis tentang peran Pangeran Cakrabuana, Kian Santang, dan Syarif Hidayatullah dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan yang sekarang menjadi tiga wialyah, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat beberapa kesimpulan dan temuan sementara yang dapat dijadikan bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya.

Pertama, bahwa orang yang pertama menyebarkan Islam di daerah pesisir utara Cirebon adalah Pangeran Walangsungsang atau Adipati Cakrabuana atau Ki Cakrabumi atau Ki Samadullah atau Syeikh Abdul Iman, yang mendirikan kerajaan pertama Islam Pakungwati. Ia adalah ua dari Syarif Hdiayatullah.

Kedua, Kian Santang merupakan anak ketiga dari pasangan Prabu Siliwangi dan Nyi Subang Larang yang beragama Islam. Ia dilahirkan pada tahun 1425, dua puluh lima tahun sebelum lahir Sunan Gunung Jati dan Mualana Syarif Hidayatullah. Ia mulai menyebarkan agama Islam di Godog, Garut pada tahun 1445. Ia adalah penyebar Islam pertama di pedalaman tatar Sunda. Ia merupakan paman dari Syarif Hidayatullah. Ia disebutkan berasal dari wilayah Cirebon, tepatnya dari Kerajaan Sindangkasih (Majalengka).

Ketiga, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati adalah nama tokoh yang berbeda dengan Faletehan. Keduanya memiliki peran yang berbeda dalam usaha menyebarkan agama Islam di tanah Pasundan.

Daftar Pustaka

  • Didi Suryadi. 1977. Babad Limbangan.
  • Edi S. Ekajati. 1992. Sejarah Lokal Jawa Barat. Jakarta: Interumas Sejahtera.
  • _________. 1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarahi). Jakarta: Pustaka Jaya.
  • Hamka. 1960. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Nusantara.
  • Pemerintahan Propinsi Jawa Barat. 1983. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat.
  • Sulaemen Anggadiparaja. T.T. Sejarah Garut Dari Masa Ke Masa. Diktat.
  • Yuyus Suherman. 1995. Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda. Bandung: Pustaka.

Sejarah Prabu Kiansantang

Blog EntryPrabu Kiansantang

Kota Garut merupakan ibu-kota wilayah Priangan Timur yang terkenal dengan alamnya yang asri, pegunungan yang indah, hawanya sejuk-segar, tanahnya subur, penduduknya peramah dan alim. Pengaruh dari ajaran-ajaran Islam terhadap penduduk Garut bekembang dengan mendalam, sebagai peninggalan sejarah penyebaran agama Islam antara lain adanya makam Godog yang dikatakan sebagai makam keramat; yaitu makam Prabu Kiansantang penganut agama Islam yang pertama dari Kerajaan Pajajaran.

Sejarah kota Garut dapat ditelusuri dari hadirnya Kerajaan Zaman Hindu di Jawa Barat yang pertama, yaitu Tarumanegara (didirikan pada tahun 400). Kemudian muncul Kerajaan Galuh (1249-1333), Kerajaan Pajajaran (1333-1579) yang meliputi daerah Jawa Barat (Pasundan) dengan Rajanya yang terkenal yakni Prabu Siliwangi berkedudukan di Pakuan (Bogor). Berkembangnya Islam di pulau Jawa lambat laun memasuki kalangan Keraton, sehingga menjadi tanda pergantian zaman, dari Zaman Hindu ke Zaman Islam.

Putra Prabu Siliwangi yang bernama Kiansantang, terkenal gagah perkasa dan sebagai putera mahkota yang pertama memeluk agama Islam, telah menyebarkan agama Islam sampai ke daerah Garut. Tempat yang terkenal sebagai pusat penyebaran agama Islam di Garut disebut daerah Suci, makam Prabu Kiansantang berada di daerah Godog dilereng Gunung Karacak, sehingga beliau disebut dengan nama ÒSunan Godog atau Sunan RochmatÓ. Makam tersebut dianggap keramat, pada setiap bulan maulud banyak orang yang ber-ziarah.

Terdapat bekas tempat tinggal (Patilasan) Kiansantang pada saat menyebarkan agama Islam di daerah Garut selatan (di Gunung Nagara Desa Depok), yang dianggap sebagai keramat. Bahkan ada cerita karena kesaktiannya, maka rakyat yang tidak mau memeluk Agama Islam ditenung (disantet) dengan tongkatnya kemudian seketika menjadi Harimau, (alkisah dikabarkan mereka yang tidak mau memeluk agama Islam, lari ke hutan yang disebut dengan Leuweung Sancang). Peninggalan Kiansantang yang saat ini masih ada yaitu : (1) Quran di Balubur Limbangan, (2) Keris (Duhung) di Cinunuk Hilir (Wanaraja), (3) Tongkat di Darmaraja, (4) Kandaga (Peti) di Godog.

Lahirnya Garut sebagai salah satu kota tempat penyebaran agama Islam, diawali dengan munculnya pesantren pada saat hadirnya Sjech Kamaludin keturunan Sunan Gunung Jati Cirebon (1552-1570), sebagai Demang (Wedana) Timbanganten, mendapat julukan ÒSembah Dalem Sjaechuna TimbangantenÓ, beliau memberikan ajaran agama Islam .Kemudian murid-muridnya membuka pesantren di berbagai tempat di Garut.

Kabupaten Limbangan merupakan cikal-bakal lahirnya Kabupaten Garut, dijaman yang lampau Balubur Limbangan mengalami zaman keemasan yang gilang-gemilang, subur-makmur, aman dan tentram; maka Balubur Limbangan menjadi catatan para sejarahwan dan tidak mudah dilupakan orang, karena kecakapan pemerintahnya, dapat menjalankan, memperhatikan keseimbangan di segala bidang dan dapat mengikuti perkembangan syiar Islam yang dilakukan oleh pemerintah Cirebon, Limbangan saat itu dikenal dengan wilayah yang mempunyai daya kekuatan batin.

Nama Limbangan berasal dari kata ÒImbanganÓ yang berarti memiliki kekuatan batin, pada abad dimana Islam sedang pesatnya mengalir ke setiap pelosok tanah air Indonesia, Limbangan dipimpin oleh seorang bupati, sebagai wakil dari Syarif Hidayat (1552-1570). Awalnya pemegang kekuasaan limbangan adalah Dalem Prabu Liman Sendjaya cucu dari Prabu Siliwangi dan anak dari Prabu Lajakusumah. Prabu Liman Sendjaja diganti oleh anaknya yang bernama Raden Widjajakusumah I, yang lebih dikenal julukan Sunan Dalem Cipancar.

Mulai dari Raden Widjajakusumah ke-1 ini, Bupati Limbangan yang dikenal dengan Bupati Galih Pakuan sangat termasyhur akan kebijaksanaannya dalam memimpin, tentang kecakapan mengatur pemerintahan, peribahasa Sunda (Dinas P dan K Kabupaten Garut : 1963) mengatakan Sepi Paling Suwung Rampog, Hurip Gusti Waras Abdi (aman, tentram dan damai).

Bupati Widjajakusumah sebagai pemuka tabir bahwa Balubur Limbangan mempunyai kekuatan batin. Syahdan Kepala daerah Cirebon, Syarif Hidayat. Pada suatu saat beliau memerintahkan kepada semua bupati untuk menghadiri rapat bupati di Cirebon, seluruh bupati diwajibkan hadir tepat waktu, bila ada yang melalaikan perintah Syarif Hidayat, maka akan dikenakan hukuman mati.

Upaya tersebut merupakan penanaman disiplin bagi aparatur negara pada waktu itu. Maksud dari yang terpenting dari kumpulan itu, guna menjelaskan tentang keunggulan ajaran agama Islam. Pada saat itu ditegaskan bahwa sebagai penganut Islam, harus berjanji untuk menjalankan segala perintah agama dan tidak akan bertentangan dengan hukum-hukum serta menurut perintah Tuhan.

Perjalanan dari Limbangan menuju Cirebon saat itu sangat sulit, oleh karena itu Bupati Galihpakuan, Raden Widjajakusumah datang terlambat pada acara rapat tersebut. Sesampainya di Pendopo, Bupati Galihpakuan ditangkap oleh para algojo yang bertugas, dan akan dibunuh dengan mempergunakan senjata miliknya, namun ketika keris ditusukkan pada tubuh Bupati Raden Widjajakusumah, tiba-tiba semua algojo itu terjatuh lemas ke tanah.

Seluruh isi Pendopo menjadi panik, hingga rapat terganggu dan dihentikan untuk sementara waktu, Syarif Hidayat keluar dan menjumpai para algojo, beliau menanyakan sebab-sebab kejadian ini, maka para algojo menjelaskan, bahwa saat menjalankan tugas dari beliau untuk menghukum Bupati Galihpakuan yang datang terlambat, mereka tidak berdaya. Syarif Hidayat menoleh kepada Bupati Galihpakuan, maka mengertilah bahwa bupati yang bersalah itu seharusnya dihukum dengan tidak mengenal pangkat, teman atau saudara.

Bupati Galih pakuan dengan iklas mempersembahkan kerisnya kepada Syarif Hidayat, guna menjalani hukuman. Setelah keris berada ditangan Syarif Hidayat, maka terlihatlah lapadz Quran ÒLaa Ikrooha FiddiinÓ, yang terukir pada keris tersebut, maka Syarif Hidayat memahami, bahwa orang yang diizinkan memakai keris tersebut adalah orang yang sangat berjasa, karena keris tersebut adalah senjata pusaka dari Prabu Kiansantang Pendekar Agama Islam. Keris itu dapat dipandang sebagai bintang perjuangan dalam menyebarkan agama Islam.

Akhirnya Syarif Hidayat tidak jadi membunuh Bupati Galihpakuan dan mengumumkan kepada semua bupati dalam rapat, bahwa Bupati Galihpakuan tidak jadi dibunuhnya karena beliau merupakan orang yang sangat berjasa dalam penyebaran agama Islam, terbukti dengan memilikinya Senjata Pusaka. Dijelaskan pula oleh beliau bahwa keterlambatannya bukan berarti melalaikan undangannya, tetapi karena disebabkan sulitnya perjalanan. Diumumkan pula, bahwa sejak hari ini nama Bupati Galihpakuan diganti dengan nama Bupati Limbangan yang berarti bahwa Galihpakuan telah mengimbangi Cirebon dalam syiar Islam.

Nama Limbangan saat ini masih ada dan Senjata Pusaka pun masih ada pada keturunan Raden Wangsa Muhammad alias Pangeran Papak di Cinunuk Kabupaten Garut. Dalam sejarah Kabupaten Limbangan disebutkan bahwa Bupati Limbangan yang berkedudukan di Limbangan, yang terakhir adalah Bupati Raden A.A. Adiwidjaja.

Pada tahun 1812 di tetapkan bahwa kedudukan bupati di pindahkan ke daerah distrik Suci, di suatu kampung yang sunyi-senyap yaitu Garut. Semula Ibu Kota akan dipindahkan di daerah Karangpawitan, namun tidak memiliki sumber air sehingga tidak terpilih, maka tempat itu disebut pidayeuheun.

Sebagai lazimnya setiap nama tempat memiliki riwayat, begitupun Garut mempunyai riwayat sebagai berikut; Sebelum Garut menjadi tempat tinggal (perkampungan), orang yang menemukan tempat itu tertarik oleh tanahnya yang datar dan mempunyai pemandangan indah yang dikelilingi oleh gunung-gunung. Ditengah-tengah dataran itu terdapat sebuah mata air yang merupakan telaga kecil tertutup oleh semak belukar yang berduri, dari mata air yang merupakan telaga kecil itu mengalir sebuah anak sungai kecil.

Pada saat orang yang menemukan telaga kecil itu akan mengambil air, tangan mereka tergores (kagarut) rerumputan hingga berdarah. Kemudian semak-belukar tersebut dinamainya Ki Garut. maka telaganyapun diberi nama Ci-Garut. Semak belukar tersebut secara bergotong-royong dibersihkan dan kemudian dibangun menjadi kota Kabupaten Limbangan yang baru.

Pembangunan perumahan, jalan-jalan dan segala fasilitas lainnya, selesai tanggal 1 April tahun 1813. Sejak itulah Kota Garut menjadi Kota Kabupaten. Bupati Garut yang pertama adalah Raden A.A. Adiwidjaja, yang kemudian mendapat julukan Dalem Cipeujeuh, karena dimakamkan di Cipeujeuh.

Adat-istiadat rakyat yang selalu hormat setia kepada kepala daerahnya mulai kepada Lurah (Kepala Desa) sampai kepada Bupati dengan mendapat sebutan : Juragan, Gamparan sampai Kangjeng, ditiru pula dalam hubungan antara buruh dan tuan-kuasa anderneming, mendapat panggilan Kangjeung Tuan Besar.

Majunya perusahaan Asing (perkebunan) memerlukan pegawai Indonesia rendah yang pandai membaca dan menulis (antara lain untuk menjadi mandor, Juru Tulis). Tahun 1872 didirikan sekolah yang lamanya tiga tahun, jumlah sekolah pada waktu itu hanya sedikit demikian pula muridnya. Rakyat lebih tertarik untuk mengikuti pendidikan pesantren dari pada bersekolah.

Pada Tahun 1900 diadakan sekolah Kelas Satu yang lamanya lima tahun, Pada tahun 1907, Sekolah Kelas Satu menjadi enam tahun dan ditambah dengan pelajaran bahasa Belanda, Murid yang diterima masuk kesekolah Kelas Satu itu hanya keturunan kaum bangsawan saja. Untuk rakyat kebanyakan di adakan sekolah Kelas Dua lamanya empat tahun.Pada tahun 1914 sekolah Kelas Satu dirubah menjadi H.I.S., bahasa pengatarnya bahasa Belanda dan kepala sekolahnya orang Belanda, sedangkan untuk anak-anak Belanda sendiri didirikan sekolah Belanda.

Mengawali implementasi emansipasi perempuan dan kemitrasejajaran gender di Garut saat itu, isteri Bupati Garut Raden Ayu Lesminingrat mengikuti jejak Raden Dewi Sartika mendirikan sekolah Kautamaan Isteri pada tahun 1910 tempatnya di halaman Kabupaten. Pada tanggal 31 Juni 1931 di Garut berdiri cabang PASI (Pasundan Istri). Usaha Pasi sejak berdirinya sebagai berikut ; (1) tahun1933 mendirikan Consuntatie Bereau, (2) tahun 1933 mendirikan Bank Pasi mendapat hak Badan Hukum tahun 1936, tahun 1936 mendirikan Badan Kematian dan Verbruik Cooperatie. Dalam aksi-aksi Pasi tidak ketinggalan, tahun 1934 mengadakan rapat umum menuntut supaya di Volksraad ada perwakilan perempuan. Tahun 1939 mengadakan rapat umum bersama-sama dengan Gapi bertempat di Gedung Taman Siswa Garut untuk menuntut Indonesia berparlemen.

Uraian tentang sejarah Garut tersebut menunjukkan bahwa Garut sebagai salah satu daerah pusat penyebaran agama Islam telah menjadikan masyarakatnya terinternalisasi oleh nilai-nilai Islam dan sebagai bekas pemerintahan jaman kerajaan pun, masyarakatnya masih menghargai dan membanggakan perbuatan terpuji yang telah dilakukan leluhurnya, seperti Prabu Kiansantang. Disamping itu aktifitas pemberdayaan perempuan tercermin dari realitas emansipasi perempuan dalam kegiatan organisasi Pasundan Istri yang diprakarsai ole istri Bupati Garut pada tahun 1910.